Kesenian Wagasa, Seni Membuat Payung Jepang

Pernahkan minasan melihat payung khas yang dipakai oleh orang Jepang dari film atau media lain? Payung itu dalam bahasa Jepang disebut wagasa, yang ternyata bukan hanya sekadar payung, loh!

Buat minasan yang penasaran, yuk baca artikel ini sampai habis!

Oh iya, jangan lupa baca juga artikel sebelumnya, ya.

Pengenalan dan Sejarah Wagasa

Wagasa (和傘) secara harfiah artinya payung jepang, merupakan payung tradisional Jepang yang berbentuk seperti kanopi yang dibuat dari bambu, tanaman egonoki, pernis Jepang (urushi) dan kertas Jepang (washi). Payung ini melambangkan kekuatan dilihat dari ukuran dan hasil desainnya yang artistik. Wagasa pertama kali muncul sekitar tahun 1550. Dahulu sekitar abad ke-10 yang boleh menggunakannya hanyalah kaum elit feodal namun selama periode Edo, wagasa bisa dipakai oleh semua orang. Tidak hanya untuk melindungi dari panas matahari dan cuaca hujan saja tapi juga bisa untuk aksesoris. Telah banyak ukiyo-e yang menggambarkan wanita yang memakai kimono juga memakai wagasa dengan motif-motif tertentu, sehingga wagasa telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Jepang dari zaman dahulu sebagai kebutuhan hidup serta budaya.

Wagasa juga memiliki kisah yang berhubungan dengan spiritual. Terdapat roh yang bernama Tsukumogami yang konon muncul dari benda yang sudah berumur lebih dari 100 tahun dan membuat benda tersebut menjadi benda hidup. Roh itu disebut dengan Karakasa Obake (唐笠お化け) atau hantu wagasa yang berwujud monster tampak seperti wagasa yang terlipat dengan satu mata, satu kaki, serta memakai geta (sandal tradisional Jepang).

Teknik Pembuatan dan Fungsi Penggunaan Wagasa

Wagasa awalnya dipakai masyarakat kelas atas untuk melindungi diri dari sinar matahari serta roh jahat yang selalu mengganggu, sehingga warna merah pada wagasa mempunyai makna spiritual tersendiri bagi beberapa orang. Sekitar abad ke-14, pengrajin membuat wagasa menjadi kedap air dengan menambahkan lilin dan minyak nabati sehingga bisa dipakai di segala musim. Di abad ke-16, pengrajin menemukan teknologi untuk dapat melipat wagasa. Untuk teknik pembuatannya itu sendiri, ada banyak langkah yang harus dilalui. Kurang lebih ada 12 langkah yang akan dibagikan melalui artikel ini.

Shitago

Yaitu pembuatan kerangka payung, dimana bambu akan dihubungkan dengan bambu lain dengan cara dijahit satu persatu menggunakan jarum dan benang.

Makuwari 

Yaitu mengatur jarak kerangka bagian atas payung kemudian disebarkan supaya merata. Tahap rumit ini membutuhkan ketelitian agar ketika membuka payung, tingkat kekencangan kerangka dan jaraknya sempurna.

Nokigami 

Yaitu memeriksa kembali kerangka yang sudah diatur dengan teliti. Apabila ada jarak yang masih tidak teratur, pada tahap ini akan dirapikan agar memudahkan pengerjaan di tahap berikutnya.

Nakaoki Bari 

Yaitu tahap memasang kertas washi untuk tahap awal pemasangan dekorasi wagasa. Kertas washi yang dipasang di pusat payung akan berfungsi sebagai pelindung bagian dalam payung dari gesekan tulang-tulang payung.

Doubari 

Yaitu proses menempelkan kertas washi di bagian utama payung. Jumlah kertas yang dipakai tergantung pada ukuran wagasa yang ingin dibuat. Apabila wagasa berukuran besar bisa menghabiskan sekitar 60 sampai 70 kertas washi.

Mino 

Yaitu tahap yang memerlukan ketelitian dan konsentrasi tinggi karena prosesnya sangat rumit yaitu membuat bagian ujung payung. Pemasangan kertas di bagian ujung payung memerlukan kesabaran serta keahlian yang luar biasa, karena kertas akan dilipat dan dibentuk dengan hati-hati supaya tidak ada masalah ketika membuka dan menutup payung nantinya.

Temoto 

Yaitu tahap ketika pengrajin menempelkan kertas washi ke bagian dalam payung. Kertasnya ditempel sesuai kerangka supaya ketika payung dibuka-tutup bisa mengikuti kerangka wagasa.

Sugata Tzuke 

Yaitu tahap melipat kertas yang sudah ditempel di tahap sebelumnya. Kertas yang sudah ditempel akan dilipat sesuai kerangka payung. Penyesuaian ini akan membuat wagasa tampak indah.

Atama Zutsumi 

Yaitu tahap menempelkan kertas ke bagian atas payung agar membentuk kepala payung.

Hone Uenuri

Yaitu proses memberikan pernis pada kerangka payung agar nantinya dapat melindungi tulang payung.

Abura Hiki

Yaitu tahap pengolesan minyak pada payung agar tahan air, kemudian akan dijemur sampai benar-benar kering.

Shiage

Yaitu tahap akhir dalam pembuatan wagasa. Di sini, pengrajin akan memasang pengait payung menggunakan benang nilon. Setelah itu payung siap digunakan.

Dari tahapan-tahapan di atas itulah yang membuat wagasa menjadi payung yang unik dan tidak bisa tergantikan nilai budaya dan keunikannya dengan payung yang lain. Seiring berjalannya waktu, wagasa populer di zaman Edo. Wagasa dipakai menjadi alat peraga dalam drama kabuki kuno serta upacara minum teh (chanoyu), juga dipakai oleh geisha  untuk berjalan-jalan di sepanjang machiya dan sekitarnya.

Signifikansi Budaya dan Simbolisme

(hi-gasa)

(ban-gasa)

(janome-gasa)

Untuk lebih memahami wagasa lebih dalam, ada tiga jenis wagasa yang perlu diketahui secara umum yaitu ban-gasa, janome-gasa, dan hi-gasa. Masing-masing terlihat mirip tetapi memiliki fungsi yang berbeda. Ban-gasa dipakai untuk penggunaan sehari-hari, janome-gasa biasa dipakai oleh geisha Kyoto karena tampilannya yang ringan, mungil serta mudah dibawa kemanapun, dan hi-gasa yang digunakan hanya untuk melindungi dari sinar matahari karena hi-gasa ini tidak tahan air. Tentunya pembuatan hi-gasa berbeda dengan kedua lainnya namun ketiga jenis wagasa itu memiliki banyak komponen yang sama. Wagasa sebagai simbol budaya tradisional Jepang tidak akan bisa tergantikan dengan payung jenis lainnya dikarenakan memiliki keunikan tersendiri serta fungsi praktisnya yang juga dapat digunakan oleh banyak orang serta memiliki tingkatan seni yang tinggi karena bentuknya yang presisi juga didukung oleh bentuk geometrinya yang akurat dalam proses pembuatannya.

Keberlanjutan dan Pelestarian Wagasa

Di tahun ketika wagasa sedang dalam puncak produksi yaitu setelah revolusi industri, puluhan juta wagasa diproduksi setiap tahunnya di seluruh penjuru Jepang. Pada abad ke-21, hanya pedagang tertentu saja yang bisa mempertahankan produksi wagasa. Salah satunya yaitu toko kerajinan kecil di Kyoto bernama Hiyoshiya yang merupakan toko wagasa terakhir yang tersisa, kini dijalankan dan diteruskan oleh pengrajin generasi kelima yang bernama Kotaro Nishibori. Hiyoshiya terus berinovasi dalam gaya wagasa namun tetap mempertahankan konstruksi aslinya. Ada pula toko bernama Tsujikura yang berlokasi di Kyoto yang telah membuat wagasa lebih dari 330 tahun dan masih melanjutkan produksinya hingga saat ini. Kyoto telah menjadi pusat kerajinan wagasa ini karena di Prefektur Gifu banyak bahan mentah yang melimpah untuk memproduksi wagasa. 

Dahulu, di akhir abad ke-19 Prefektur Gifu yang berada di sebelah timur Kyoto ini telah memproduksi lebih dari 500,000 wagasa setiap tahun. Di sekitar tahun 1950 dapat mencapai 15 juta produksi per tahunnya dan terdapat 600 toko yang memproduksi wagasa yang hanya beroperasi di Gifu. Namun, saat ini di akhir tahun 2019 hanya tersisa kurang lebih 20 pengrajin wagasa di seluruh penjuru Jepang. Hal tersebut merupakan ketidakpastian masa depan wagasa hingga pelestarian wagasa perlu terus dijalankan oleh berbagai kalangan yang memahami esensi dari wagasa ini. Toko seperti Tsujikura, Hiyoshiya, dan Kasa Biyori juga menyediakan penjualan wagasa secara daring bagi mereka yang ingin membeli wagasa namun terkendala untuk pergi ke Jepang secara langsung. 

Wagasa dalam Konteks Modern

Di era modern ini, wagasa masih tetap eksis meski dengan gaya tradisionalnya. Wagasa masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari pada hari-hari tertentu, contohnya seperti ketika menghadiri upacara-upacara tradisional, pernikahan, pemakaman, dan kegiatan tradisional lainnya. Wagasa juga masih digunakan untuk pelengkap ketika menggunakan kimono, yukata dan lainnya. Selain itu juga wagasa sering digunakan untuk pajangan interior maupun eksterior toko, rumah atau tempat-tempat tertentu. Karena keunikan wagasa yang memiliki tingkat seni tinggi dan hanya bisa dijumpai di Jepang juga sering dicari oleh para turis untuk dijadikan sebagai oleh-oleh.

Kesimpulan

Tidak hanya Indonesia, negara lain seperti Jepang juga memiliki warisan budaya tradisional yang diproduksi sendiri dan memiliki keunikan dalam proses pembuatannya, hal tersebut membuat warisan budaya tersebut menjadi bernilai tinggi. Begitu pula dengan wagasa yang merupakan payung tradisional Jepang ini, meskipun memiliki fungsi yang sama dengan payung lain pada umumnya, namun wagasa ini memiliki keistimewaan yang tidak ada di payung lainnya. 

Daftar Pustaka

Kelas Intensif

Oh iya, buat mina-san yang belum bisa membaca hiragana dan katakana, kebetulan kami ada paket belajar agar mina-san bisa menguasai dua huruf dasar bahasa Jepang! Kalau mina-san ingin mahir bahasa Jepang, pembelajaran hiragana dan katakana ini hukumnya wajib ya!

Selain itu, kami juga lagi buka kelas bahasa Jepang intensif online dari level N5 hingga level N3 loh! Kelas dibuka di hari kerja, ada rekaman kelas sehingga mina-san bisa belajar tanpa harus tatap muka secara langsung, dan senseinya mumpuni loh!

Bagaimana? Menarik bukan? Yuk daftar melalui gambar di atas!

さいまでてくれてありがとうございました!
Terima kasih sudah membaca sampai habis!