Orang Jepang Kebanyakan Ateis?

Mungkin beberapa di antara pembaca ada yang pernah membaca atau tahu dari beberapa sumber, bahwasanya kebanyakan orang Jepang adalah orang-orang yang tidak menganut agama atau dalam kata lain yang lebih singkat adalah ateis. Tetapi, apakah informasi tersebut memang demikian adanya?

Selamat datang di situs web WKWK JAPANESE, tempat belajar banyak hal mengenai Jepang, khususnya bahasa Jepang dan budaya Jepang. Di sini tersedia berbagai artikel tentang bahasa seperti tata bahasa, kosakata, kanji, dan lain sebagainya untuk membantu proses belajar mina-san. Jadi jangan sungkan-sungkan untuk mampir kembali ke situs web ini ya!

Kalau dibilang orang-orang Jepang kebanyakan ateis memang tidak salah, namun sebelum itu mari kita lihat sejarah perkembangan agama di Jepang yuk!

Jepang Punya Agama Sendiri?

Agama di Jepang sendiri pada dasarnya hanya satu, yaitu Shinto(神道)yang merupakan agama yang berkembang di Jepang tanpa pengaruh dari luar. Agama ini tak memiliki kitab suci layaknya agama-agama lain seperti Kristen dengan Injil, Islam dengan Quran, dan Buddha dengan Tripitaka.

Bahkan Shinto sudah ada sebelum Buddha diperkenalkan ke Jepang, yang juga berperan sebagai agama tertua dari luar yang masuk ke Jepang sebelum agama-agama lain.

Shinto berkembang dari penyembahan terhadap alam atau arwah nenek-moyang, yang mana semakin lama entitas-entitas tersebut disebut dengan dewa. Oleh karenanya agama ini disebut dengan 神道 yang terdiri dari dua kanji penyusun, yakni 神 ‘dewa’ dan 道 ‘jalan’.

Agama Buddha sendiri baru masuk ke Jepang pada pertengahan abad ke-6, dan semenjak itu Shinto dan Buddha hidup berbarengan tanpa ada bentrokan yang signifikan, yang dalam bahasa Jepang disebut dengan 「神仏習合」yang diterjemahkan dengan ‘sinkretisme (penyatuan aliran) Shinto dan Buddha’.

神 dan 仏

神 adalah kanji untuk mewakili konsep Tuhan dan dewa, sedangkan 仏 adalah sebuah gelar yang disematkan untuk orang yang telah mendapatkan Pencerahan Sempurna.

神 yang diterjemahkan sebagai Tuhan adalah suatu entitas yang mengatur kehidupan ini, mulai dari penciptaan dunia hingga akhir, sesuatu yang maha segalanya, terus hidup dan tidak mati. Berbeda dengan 神 yang diterjemahkan sebagai ‘dewa’, yang merupakan suatu entitas sakti yang berasal dari dongeng zaman terdahulu, yang mereka bisa mati dengan wajar atau secara tidak wajar.

Konsep Ketuhanan dalam Diri Orang Jepang

Orang-orang Jepang memiliki pemahaman yang sedikit berbeda dengan penganut agama lain pada umumnya. Misalnya perihal ketuhanan, orang-orang Jepang tidak menganggap eksistensi dewa sebagai sesuatu yang absolut, melainkan sesuatu yang bisa muncul kapan saja di mana saja dan dalam bentuk apa saja, baik itu bentuk manusia, hewan, benda-benda alam, dan lain sebagainya.

Sesuatu yang menguntungkan bagi orang Jepang, itulah yang orang Jepang anggap sebagai dewa. Misalnya ketika mereka dalam keadaan terdesak kemudian merasa tertolong oleh seseorang, bisa saja menganggap orang yang menolongnya tersebut adalah dewa, padahal yang dilakukan hanya hal kecil seperti datang di waktu yang tepat, atau bahkan tak pernah ia rencanakan sama sekali.

Menurut statistik agama di Jepang pada saat artikel ini dibuat, agama Buddha menempati 31 persen, Shinto 3 persen, Kristen 1 persen, dan yang tidak beragama sebanyak 62 persen. Orang-orang yang tidak menganut agama di Jepang, sebetulnya juga menjalan praktik yang menjadi ciri khas salah satu agama di sana, atau bisa disebut melakukan ritual ibadah lintas agama.

Campur aduk agama ini bukanlah hal yang baru, apalagi dengan adanya「神道習合」(sinkretisme Shinto dan Buddha). Bahkan kita bisa dapati hari-hari yang asalnya dari agama Kristen pun juga mereka rayakan, seperti hari Natal dan hari-hari sejenisnya.

Lahir Tata Cara Shinto

Ketika seseorang lahir di Jepang, kemungkinan besar mereka merayakannya dan ritual agama Shinto, bahkan walau dia adalah orang yang tidak menganut agama sekalipun. Ritual ibadah agama Shinto ini telah melekat di hati orang Jepang dan telah menjadi budaya yang tak pandang bulu, siapapun boleh melakukannya.

Kegiatan ini dinamakan dengan お宮参り (kunjungan kuil), yang biasanya dilaksanakan 31 hari setelah bayi dilahirkan. Bayi dibawa ke kuil untuk didoakan supaya bisa tumbuh dengan baik. Salah satu penyebab adanya tradisi ini adalah karena dahulu pengobatan tidak cukup mumpuni dan tingkat kematian bayi begitu tinggi. Walaupun acara ini adalah acara untuk perayaan yang biasanya orang Jepang memilih hari yang bagus, khusus untuk acara ini bahkan pada 仏滅 sekali pun tidak ada masalah. Buat kalian yang ingin tahu lebih lanjut tentang tingkat keberuntungan di setiap harinya, bisa cek di Weton Jepang? Ternyata Selain Hari Biasa Ada Hari Lain!

Apakah dengan mengikuti ritual ibadah tata cara Shinto berarti pelakunya adalah penganut agama Shinto? Tentu saja tidak demikian.

Menikah Tata Cara Kristen

Pernikahan di Jepang umumnya dilakukan dalam dua jenis, yaitu dengan adat tradisional dan melakukan pernikahan di gereja. Melakukan pernikahan di gereja bukan berarti mereka menganut agama Kristen atau Katolik, tetapi karena mereka sangat tertarik dengan budaya yang kebarat-baratan. Fenomena yang sama juga terjadi pada hari Natal, yang kalau ditanya itu hari apa, kebanyakan dari mereka pasti akan menjawab, “Terserah hari apa, pokoknya mau kencan sama pacar hari ini.” dan respon yang sejenisnya.

Mati Tata Cara Buddha

Bila seseorang meninggal dunia, maka hampir selalu mereka melaksanakan upacara pemakaman di kelenteng. Tradisi ini sudah mendarah daging dalam masyarakat Jepang.

Meski Shinto dan Buddha mengalami sinkretisme, masih ada beberapa konsep yang sangat berbeda di antara keduanya. Di antara perbedaan tersebut adalah sudut pandang kedua agama perihal orang yang telah meninggal. Agama Shinto menganggap bahwa orang yang telah meninggal itu kotor, sehingga tidak mengubur mayat dan membuangnya di tempat yang tak banyak orang bukanlah pemandangan yang aneh. Bertolak belakang dengan agama Buddha yang tidak menganggap jenazah sesuatu yang kotor, dan justru menganggap bahwa manusia terdiri dari 4 elemen, yang apabila ia meninggal maka elemen itu akan memudar dan akan membentuk manusia yang lain. Oleh karenanya, kelentenglah yang mengurus pemakaman orang-orang hingga kini.

Kesimpulan

Memang benar orang-orang Jepang banyak yang tidak beragama, dan bahkan mereka memilih kegiatan atau tradisi dari suatu agama yang sekiranya bisa menguntungkan mereka, seperti mengadakan pemakaman di kelenteng misalnya, karena di kuil mereka tidak akan pernah mau.

Kelas Intensif

Oh iya, kalau mina-san ingin tahu lebih detail tentang pembahasan ini atau mungkin ingin belajar Bahasa Jepang dengan guru agar bisa berinteraksi langsung?

WKWK Japanese membuka kelas Bahasa Jepang Online loh! Mina-san bisa dapat banyak benefit belajar bersama WKWK Japanese, di antaranya:

  • Senseinya mumpuni (N2/N1)
  • Rekaman tiap kelas, agar bisa mengulang pembelajaran dan tidak takut ketinggalan kelas
  • Harganya terjangkau, bisa mencicil atau sekali bayar
  • Bisa berdiskusi langsung dengan sensei dan teman teman yang lain juga loh!

Yuk, Jangan sampai kehabisan slotnya, langsung klik ke link ini untuk detail kelasnya ya!

Detail kelas intensif untuk pemula (N5)
Detail kelas intensif untuk N4
Detail kelas intensif untuk N3
Berkonsultasi (gratis)

Sampai bertemu di kelas!